Title: Ma Cherié
Author: Ayu Satoru Sakaguchi
Genre: Romance, ditambah tonjok”an Teppei en Saki XD
Chapter: oneshoot
Theme Song: Nightmare – Chronicle, SID – Namida no Ondo, On/Off – Rinne Rondo
==========
”Kita putus!”
Kata-kata itu, masih saja membebani pikiranku.
Perkataannya beberapa hari yang lalu…
Ah, sudah seminggu berlalu. Aku bukanlah gadis yang akan terus-menerus bersedih hanya karena diputuskan oleh pacar. Yah, setidaknya aku mencoba untuk melihat kedepan daripada harus terus terbayang masa lalu. Lagipula masa-masa indah itu sudah berakhir, saat aku dan Teppei masih berpacaran.
Begitulah, dulu kami memang berpacaran, sampai akhirnya seminggu yang lalu Teppei memutuskan hubungan kami tanpa alasan yang jelas. Jujur saja, aku benar-benar sedih. Selama ini Cuma Teppei yang bisa mengerti perasaanku, tapi… itu dulu. Setelah hari itu, aku belum bertemu dengannya lagi. Cukup menyedihkan, karena sebenarnya sebentar lagi adalah hari ulangtahunku. Teppei-lah yang biasa menjadi pengucap pertama dan mengucapkan “Happy birthday, Neeyu-chan!” padaku.
Tapi sekarang, kurasa tidak akan ada lagi ucapan seperti itu…
“Ha! Terus saja kau melamun begitu!”
Kibasan tangan Sakito menyadarkanku dari lamunan tentang Teppei. Suaranya sedikit menggelegar mengagetkanku. Sakito, ia adalah sahabat karibku… ah, tidak, kurasa aku sudah menganggapnya keluarga daripada sekedar sahabat. Bisa dibilang, Sakito adalah orang kedua yang paling dekat denganku setelah Teppei. Kedua orangtuaku tidak tinggal di sini, di Miyagi. Mereka terlalu sering pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Kakakku bekerja di Sendai, sementara aku sendiri harus meneruskan pekerjaanku juga disini. Dan yang dipercaya kakakku untuk menjagaku ya… hanya Sakito. Makanya aku sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri.
“Jangan kibaskan tanganmu begitu! Aku pusing melihatnya, tahu,” keluhku.
“Ah, aku sendiri sudah pusing melihatmu.”
“Maksudmu?” tanyaku sebal.
“Pasti dari tadi kau melamun memikirkan Teppei. Iya, kan?” Sakito balik menatapku sebal.
“Sooook tahu!” kujulurkan lidahku pada Sakito.
“Tapi nyatanya aku benar kan, Neey?”
“Terserah.” Aku menyerah dengan tebakan Sakito yang selalu seratus persen tepat.
“Tapi!” ucapnya tiba-tiba. “Karena ada Sakito-sama disini, kau tidak perlu memikirkan pria aneh itu lagi, oke?” Sakito menepuk-nepuk dadanya, membuatku bisa sedikit tertawa melihatnya. Dia memang selalu tahu bagaimana cara menghiburku.
“Dasar kau ini. Techan itu bukan pria aneh, tahu! Dia baik hati, ramah, selalu tersenyum, jujur, berwibawa…”
“…sopan, rajin, pintar, dewasa, dan menyenangkan kan?” Sakito memotong perkataanku.
“Nah, itu kau tahu.”
“Itu karena kau sudah mengucapkannya ribuan kali, baka!” Sakito mengacak-acak rambutku. Ia hanya tersenyum lebar melihatku memasang wajah kesal padanya. “Ayo pulang. Tokonya sudah sepi. Lagipula, kau ini rajin sekali sih? Hari ini pengunjungnya kan tidak banyak.”
“Pulang? Sekarang?”
“Ya, memangnya kapan lagi? Aku sudah memarkirkan motorku diluar lebih dari sejam yang lalu. Aku capek, tahu, harus menunggumu selesai kerja.”
“Itu salahmu. Kau sih, menjemputku terlalu awal.”
Sakito berbalik. “Itu kan untuk gadis yang kusayang,” ucapnya pelan sekali.
“Eh? Apa kau tadi mengucapkan sesuatu?”
“Ah, tidak. Sudahlah, cepat ganti baju dan bereskan barang-barangmu. Kutunggu di luar.”
“Haah… Baik, baik!”
==========
“Nah, kita sampai!” ucap Sakito setibanya kami di rumahku. Seperti biasa, ia memarkirkan motornya di samping pagar rumahku. Benar-benar tepat di samping pagar rumahku, sampai-sampai ia menabrak tong sampah di rumahku lagi. Entah sudah yang keberapa kalinya.
“Sakito! Baka! Lihat itu, sampahnya berantakan semua!” Lagi-lagi Sakito hanya tertawa melihatku yang marah-marah padanya. Dasar! Dia pikir aku bercanda? Tapi, kuakui sih, sepertinya aku memang tidak akan bisa marah pada Sakito. Sesering apapun dia menabrak tong sampahku, atau menghilangkan kaus kakiku—padahal itu untuk kupakai ke tempat kerja—, tapi tetap saja pada akhirnya aku tertawa lagi dibuatnya.
Berbeda dengan Teppei. Terkadang selera humornya sulit keluar, dan itu membuatku jadi canggung. Ia lebih suka mengajakku ke restoran di dekan kantornya daripada mengajakku ke taman umum dan memainkan gitar untukku seperti yang sering dilakukan Sakito. Makanya kubilang, mereka memang benar-benar jauh berbeda.
“Ah, besok juga tukang sampahnya datang kok,” ucap Sakito enteng. Dia sama sekali tidak peduli denganku yang masih agak kesal.
“Kau ini! Tapi halamanku jadi kotor begitu!”
“Lalu kenapa? Sudahlah jangan diambil pusing, oke?” Sakito membetulkan posisi helmnya. Tangannya cermat mengatur kaca helmnya ke posisi yang benar. “Ngomong-ngomong, Neey…”
“Apa?”
“Besok, ada acara tidak?”
“Tidak. Ah, tapi, besok belikan aku kado ya?” kutepuk bahu Sakito keras-keras.
“Yaaa, tapi kalau aku ingat,” ucapnya sambil tertawa. “Besok sore, bisa tidak kau temui aku di taman umum?”
“Untuk apa?” tanyaku heran.
“Pokoknya temui aku di sana. Besok, jam lima. Dan… bawa jaketmu.”
“Eh, tunggu dulu! Kau belum jawab pertanyaanku!”
“Besok saja. Aku mau pulang. Daah!” dengan cepat Sakito membalikkan motornya dan segera menyalakan mesinnya. Sesaat kemudian, ia sudah melaju jauh di depanku sambil melambaikan tangannya.
Ah, dasar Sakito.
Kau ini… lucu sekali.
==========
Kulihat bayanganku yang sedang berdiri tegak didepan cermin setinggi 2 meter pemberian ibuku. Hmm, kalau dilihat-lihat, tubuhku memang tidak terlalu tinggi. Tapi secara keseluruhan, postur tubuhku juga tidak jelek kok. Banyak yang bilang, pinggangku ramping… Emm, kurasa mereka benar.
Aku bingung harus memakai baju apa, jadi kukenakan baju lengan panjangku yang sedikit longgar. Lalu kuteruskan dengan celana warna hitam favoritku. Aku berputar sedikit. Kurasa ada yang kurang, tapi aku tidak tahu apa. Rambutku yang panjang sebahu kuikat dengan ikat rambut yang pernah dibelikan Sakito.
Hmm, jadi apa lagi?
Sepertinya Sakito menyuruhku membawa sesuatu, tapi aku lupa.
Drrrt…
Handphone-ku bergetar. Ada pesan… dari Kyon. Sahabatku itu mengucapkan selamat ulangtahun padaku. Yah, ini memang hari ulangtahunku yang kesembilan belas. Seharusnya aku merasa senang, hanya saja…
Hari ini baru Kyon yang mengucapkan selamat ulangtahun padaku. Sakito bahkan belum meneleponku, atau setidaknya mengirim pesan singkat. Ini bahkan sudah sore. Dan juga, kenapa ayah, ibu, atau niichan tidak mengucapkan selamat ulangtahun padaku? Apa mereka lupa? Padahal biasanya mereka bahkan selalu mengirimi aku hadiah. Ada apa ini…?
Teppei…?
Ah, tidak, tidak. Yang benar saja. Jangan mengharapkannya.
Dia pasti lupa.
Aku berjalan dengan sedikit ragu. Kupikir, walaupun hari ini mengecewakan, mungkin bertemu dengan Sakito di taman bisa sedikit mengobati kekecewaanku.
Dan taman umum ini masih sama. Banyak pasangan muda di sepanjang sudut taman. Mereka semua terlihat senang, membuatku iri.
Aku mencoba duduk di sebuah bangku dengan ukiran hati di kakinya. Di belakangku terdapat sebuah pohon sakura besar yang semua bunganya masih kuncup. Di sinilah aku dan Sakito biasa bertemu. Kadang Sakito memaksa ingin mengukir inisial kami di pohon sakura ini, tapi selalu kularang karena aku tidak suka kalau ia menyakiti tumbuhan seperti itu.
Sudah jam lima, dan Sakito belum datang juga. Kemana dia? Padahal biasanya kalau janji bertemu, Sakito selalu menyuruhku agar jangan sampai telat. Tapi sekarang? Si baka itu pasti masih mengikat tali sepatunya.
“Neeyu?” kudengar sebuah suara yang kukenal memanggilku. Suara itu sangat familiar. Kualihkan pandanganku, dan ada sesuatu yang membuatku terkejut.
“Teppei?” ucapku spontan. Aku takut salah lihat, jadi kuperhatikan wajahnya… dan memang Teppei. Kami saling beradu pandang karena heran.
“Hei, tidak kusangka kita bertemu disini!” Wajahnya terlihat tanpa beban. Tidak seperti aku yang selama ini terus memikirkannya.
“Hee… Iya,” jawabku seadanya.
“Kau sedang menunggu seseorang?”
“Ya. Kau sendiri?”
“Aku sedang membelikan minuman untuk Maki.”
“Maki?”
“Ya, dia pacarku.” Teppei tersenyum manis.
Deg—!
Apa katanya tadi?
Pacar?
“Ayo, akan kukenalkan dia padamu,” ucapnya padaku tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
“Ah, tidak usah…”
“Ayolah, Neey.”
Mendengar ia bicara begitu, rasanya seperti dihujami ribuan pisau. Dengan mudahnya ia mengajakku bertemu pacar barunya itu?
Sabar, Neeyu… Sabar…
Baiklah, kau hanya harus tenang. Carilah alasan… tapi apa?
“Jadi bagaimana? Mau ya?”
Aku menunduk. “Teppei, aku…”
“Sayangnya dia sudah punya janji denganku.” Tiba-tiba Sakito muncul dari belakangku. Tangannya terlipat didepan dadanya, serasi dengan pandangan sinisnya pada Teppei. “Jadi dia tidak kuijinkan pergi dengan siapapun,” lanjut Sakito.
Wajah Teppei berubah kesal melihat pria yang paling tidak disukainya berdiri tegak menantangnya. “Cih! Kau pikir siapa kau ini!? Seenaknya mengatur Neeyu! Kau bukan siapa-siapanya, tahu!?”
“Kau juga bukan siapa-siapa bagi Neeyu.” Kata-kata Sakito sontak membuat Teppei langsung kehabisan kata-kata dan bertambah geram. Sakito sendiri langsung berjalan kearahku, tepat didepanku, menghalangiku dari Teppei. “Lagipula… aku ini pacarnya Neeyu! Benar kan, Neey?”
“Eh!? Tapi…”
“Benar kan, Neeyu…!?” Sakito menginjak kakiku.
“Aduh! I-Iya, Sakito itu pacarku,” ucapku sambil meringis kesakitan.
“Nah, kau dengar sendiri kan?”
“Heh! Jangan besar kepala kau!” bentaknya. “Neeyu, memangnya apa bagusnya dia dibandingkan denganku, hah!?”
“Kurasa Neeyu tidak perlu menjawab.” Sakito terlihat makin percaya diri. “Jadi, enyahlah dari sini, dan biarkan kami berkencan dengan tenang, bisa kan?”
Duaaakk!
“Sakito!”
Sebuah pukulan keras dari kepalan tangan Teppei mendarat di pipi kiri Sakito. Pukulan itu langsung membuat pipinya memerah. Tapi Sakito tidak membalasnya. Ia justru mengembalikan pandangan sinisnya pada Teppei.
“Hanya itu? Tidak ada yang lain? Padahal aku mengharapkanmu menembakku dengan shotgun.”
Teppei terlihat makin kesal. Dilemparnya kaleng soda yang tadi dibelinya. “Cih! Sekarang kau bisa saja menertawanku, tapi nanti, kalian…! Kalian…! Arrghh!!” Akhirnya Teppei pergi menjauh dari kami sambil mendengus kesal. Dari balik punggung Sakito, dapat kulihat Teppei yang mulai menjauh dari pandanganku.
Sekali lagi, ia pergi dariku dengan raut wajah marah.
Sekali lagi, aku membuatnya marah.
Maaf, Teppei…
Plak…!
Lengan Sakito mendarat di pundakku. Untuk pertama kalinya, ia merangkulku… dengan sangat erat. “Sudah, ya? Kau tidak boleh tergantung padanya lagi. Lihat bagaimana dia membentakmu?” Dan untuk pertama kalinya, Sakito berbicara padaku dengan begitu lembut.
“I-Iya… Maaf, Saki.”
“Saki? Bagus juga.” Ia mengacak-acak rambutku lagi.
Sakito menarik nafas panjang, seolah mengatakan padaku kalau ini sudah berakhir dan tidak akan terulang lagi. Aku tidak tahu kenapa, tapi Sakito tidak terlihat kesal sama sekali. Ia membawaku ke sebuah sudut taman, tempat yang belum pernah kudatangi. Ada dua bangku yang saling berhadapan, dengan meja dari batang pohon besar bekas ditebang yang berada tepat diantara keduanya. Di sekelilingnya terdapat lampu-lampu taman yang belum dinyalakan. Dari sana dapat kulihat danau yang berwarna kemerahan tersapu cahaya senja matahari yang hampir terbenam. Cantik sekali.
Sakito mendudukkanku di salah satu bangku itu, sementara ia duduk di sisi satunya. Aku sendiri masih belum tahu apa tujuan Sakito membawaku kemari. Ia merapikan bajunya yang tadi agak kusut karena Teppei. Sementara itu ia tidak mengucapkan apapun padaku. Tangannya terlipat di atas meja batang kayu itu, sedangkan matanya terus memperhatikanku dan sesekali ia tersenyum renyah. Melihatnya seperti itu, wajahku jadi memerah. Tidak biasanya Sakito begini.
“Ano, sebenarnya kita mau apa sih?” tanyaku.
“Sabar… Acara puncaknya sebentar lagi.”
“Eh? Acara puncak apa?”
“Sepuluh detik dari sekarang.” Sakito memangku wajahnya diatas kepalan tangannya. “Sepuluh… Sembilan… Delapan…”
“Heeh? Apa maksudmu, Saki?”
“Tujuh… Enam…”
“Saki!”
“Lima…”
“Saki, kau membuatku takut!”
“Empat… Tiga…”
“Saki, hentikan!”
“Dua…”
“Saki, aku serius!!”
“Satu…”
Matahari terbenam sepenuhnya. Keadaan disekitarku jadi gelap. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama, karena beberapa detik kemudian, lampu-lampu taman di sekitar kami menyala satu persatu. Beberapa diantara lampu-lampu itu masih berkedip dan menghasilkan cahaya yang indah sekali. Aku terpukau dibuatnya.
Sakito tersenyum padaku. Kemeja putih yang dipakainya terlihat berwarna-warni terkena cahaya lampu taman yang masih berkedip. ia terlihat senang melihatku terpukau dengan pertunjukkan lampu yang dibuatnya. Aku sendiri masih tidak bisa berkata apa-apa melihat cahaya warna-warni lampu-lampu itu.
“Kau suka?”
“Wow… Ini… luar biasa, Saki.”
“Ahaha, aku tahu kau akan suka. Ini spesial untuk ulangtahunmu.”
“Eh? Jadi kita kesini untuk merayakan ulangtahunku?”
“Mungkin…,” jawabnya singkat. “Sudah dapat ucapan ulangtahun?”
Aku mendengus. “Baru dari Kyon.”
“Wah, dia memang tidak bisa diajak bekerja sama.”
“Maksudmu?”
“Padahal sudah kubilang, jangan mengucapkan selamat ulangtahun padamu sebelum aku. Huh, dasar…”
“Ooh, pantas saja! Jadi itu karena kau?”
“Ahaha, maaf, maaf. Makanya, sekarang aku ingin menjadi pengucap yang paling spesial. Lebih spesial dari mantanmu itu.”
“Haah, jangan-jangan kau akan mengucapkan dengan cara yang sama,” ejekku.
“Kata siapa? Aku tidak suka ucapan ‘Happy birthday, Neeyu-chan.’ Karena…” Sakito merubah posisi duduknya. Diambilnya sebuah kotak kecil dari dalam sakunya.
“Karena?”
“Karena aku punya yang lebih spesial. Misalnya…”
“…happy birthday, Ma Cherié…,”
Sakito mengucapkan kata-kata itu dengan begitu lembut. Tak hanya itu, ia juga membuka kotak kecil yang diambilnya tadi. Kotak itu berisi sebuah cincin dengan sepasang permata diatasnya. Cantik sekali.
Angin malam yang dingin berhembus menusuk kulitku, tapi semua itu seakan tak terasa saat Sakito tersenyum lembut padaku. Ia lingkarkan cincin itu di jari manisku. Aku yang tadi tidak bisa berkata-kata, sekarang benar-benar tidak bisa bicara apa-apa. tak pernah kusangka sebelumnya, Sakito yang selama ini suka sekali membuatku jengkel… bisa-bisanya ia melakukan hal seperti ini. Aku yang biasanya tertawa karenanya, sekarang hanya bisa termangu dengan sikapnya yang benar-benar membuatku tersanjung, bingung harus bagaimana. Aku bahagia, tapi juga jadi salah tingkah karenanya. Tapi Sakito tak peduli. Ia justru mengecup lembut tanganku yang tadi ia pasangkan cincin pemberiannya. Beberapa saat, ia genggam erat tanganku. Begitu hangat, mengalahkan udara dingin yang terus berusaha menembus kulitku. Kuperhatikan lagi jari manisku. Ini seperti mimpi, hanya saja… Ini bukan mimpi.
Ini… benar-benar cincin yang diberikan Sakito dan baru saja ia lingkarkan di jariku…
“Aku sudah bicara. Pada ayahmu, ibumu, kakakmu, dan mereka setuju.”
“Se-Setuju? Setuju… u-untuk apa?” tanyaku yang masih bingung.
“Kau menjadi tunanganku…”
Astaga…
Aku jadi bertambah bingung.
“HEE!!? Yang benar!?”
“Aha.” Sakito mengangguk. “Hei, Neey. Aku tahu, aku memang pria yang egois. Tapi pria egois ini membutuhkan seorang pendamping yang bisa mencintainya apa adanya. Dan kurasa, hanya kaulah, Neeyu… Kaulah yang pantas…”
“Saki… Aku…”
“Kumohon jangan katakan kau menolak.”
“Ng… Sebenarnya, aku menolak.”
“Haah? Ta-Tapi, tapi…! Tapi…”
“Aku menolak kalau kau memasangkan cincin ini di jari manisku. Lihat, masih kebesaran,” ejekku saat kulihat wajah Sakito memerah. “Cepat pasangkan di jari tengahku…!”
“Haish… Kau ini.”
“Waah, kau mau benar-benar kutolak ya?”
“Eh, tidak, tidak. Baiklah, nona cerewet. Sini tanganmu.”
Aku melihat sebuah senyum terukir di antara kedua pipi Sakito. Ia terlihat bahagia, sama sepertiku. Baru aku sadari, ternyata Sakito-lah sosok yang selama ini mestinya ada di sisiku. Dia yang tahu bagaimana cara menghiburku, dia yang tahu bagaimana membuatku tertawa, dia yang selalu bisa menghilangkan rasa sedihku, dan yang paling penting, dialah… Sakito, yang selalu bisa membuatku merasa bahagia. Jauh lebih bahagia dari masa-masaku dulu.
Angin dingin membuatku sedikit bergidik. Sakito kembali mengataiku baka saat kubilang aku lupa membawa jaket. Tapi pada akhirnya, Sakito sendiri yang memakaikan jaketnya padaku. Seluruh tubuhku terasa hangat. Hangat, bahkan sampai terasa kedalam hatiku. Ah, kurasa memang ini yang kuinginkan. Berada di dekat Sakito… aku tidak akan merasa kedinginan lagi.
Sakito…
Dulu aku menganggapmu teman.
Lalu sahabat.
Lalu keluarga.
Sekarang?
Aku tidak tahu harus menyebutmu apa.
Atau mungkin…
Aku juga bisa menyebutmu…
Ma Cherié…
==========
“Hei, Saki… Boleh aku tanya sesuatu?”
“Ya, apapun.”
“Etoo, sebenarnya…”
“Apa? katakan saja.”
“Hehehe, sebenarnya ‘Ma Cherié’ itu artinya apa?”
“HAAAHH!! Dasar kau ini!”
—Owari—